Pentingnya Uji Pestisida Menggunakan Pendekatan In Vitro

Pestisida telah menjadi bagian penting dalam sistem pertanian modern karena kemampuannya dalam mengendalikan hama dan penyakit tanaman, sehingga dapat meningkatkan hasil panen dan kualitas produk. Namun, di balik manfaatnya, penggunaan pestisida juga menimbulkan kekhawatiran terhadap dampak negatifnya, terutama yang berkaitan dengan toksisitas terhadap manusia, hewan non-target, dan lingkungan.

Oleh karena itu, penilaian keamanan pestisida, khususnya bahan aktif di dalamnya, menjadi aspek yang sangat penting sebelum produk tersebut digunakan secara luas. Dalam upaya memastikan keamanan tersebut, berbagai metode pengujian toksisitas telah dikembangkan. Salah satu pendekatan yang semakin mendapatkan perhatian adalah metode in vitro. Pendekatan ini tidak hanya mendukung prinsip etika dalam penelitian, tetapi juga memberikan berbagai keuntungan teknis dan efisiensi dalam pengujian bahan aktif pestisida.

Read more:
In Silico, Metode Alternatif untuk Uji Toksisitas Pestisida

Pendekatan In vitro untuk Uji Produk

Dalam dunia penelitian toksikologi, istilah in vitro merujuk pada studi yang dilakukan di luar tubuh makhluk hidup, biasanya menggunakan sampel sel atau jaringan yang ditempatkan dalam lingkungan buatan seperti tabung reaksi atau cawan petri. Pengujian in vitro menjadi pendekatan penting dalam mengevaluasi keamanan dan dampak toksik dari berbagai bahan kimia, termasuk bahan aktif dalam pestisida.

Pestisida umumnya mengandung bahan aktif yang dirancang untuk membunuh atau mengendalikan hama. Namun, sebelum digunakan secara luas di lingkungan pertanian, bahan aktif ini harus melalui serangkaian uji toksisitas untuk memastikan keamanannya terhadap manusia, hewan, dan lingkungan. Pengujian in vitro hadir sebagai alternatif yang sangat relevan dalam tahap awal penilaian tersebut.

Metode in vitro memiliki banyak keunggulan dibandingkan metode tradisional berbasis hewan (in vivo). Salah satu kelebihan utamanya adalah kemampuan untuk mengontrol kondisi pengujian secara ketat, seperti suhu, pH, atau konsentrasi zat uji. Hal ini memungkinkan peneliti untuk memahami dengan lebih tepat bagaimana bahan aktif pestisida berinteraksi langsung dengan sel atau jaringan tertentu.

Selain itu, metode ini juga menawarkan standarisasi yang tinggi dan mengurangi variasi antar eksperimen, sehingga hasil yang diperoleh lebih konsisten. Dari sudut pandang etika dan efisiensi, pengujian in vitro mendukung prinsip 3R (Reduction, Replacement, dan Refinement), yakni mengurangi jumlah hewan uji, menggantikan penggunaan hewan dengan metode non-hewan, serta menyempurnakan prosedur agar lebih beretika. Uji in vitro juga lebih hemat biaya, membutuhkan lebih sedikit bahan uji, dan menghasilkan limbah toksik yang lebih sedikit dibandingkan metode konvensional.

Dengan berbagai manfaat tersebut, pendekatan in vitro menjadi strategi penting dalam mendukung pengembangan pestisida yang lebih aman dan berkelanjutan. Penggunaan metode ini tidak hanya mempercepat proses evaluasi bahan aktif, tetapi juga membantu mengurangi dampak negatif terhadap hewan dan lingkungan.

Pendekatan In vitro Sebagai Metode untuk Menguji Produk Pestisida Masa Kini

Berbagai metode uji in vitro telah dikembangkan untuk menilai potensi toksisitas dari bahan aktif pestisida terhadap berbagai sistem biologis. Dalam uji imunotoksisitas, dua metode yang umum digunakan adalah iodo-nitro-tetrazolium reductase test dan leukocyte migration-inhibition assay. Metode pertama mengukur aktivitas fagosit berdasarkan kemampuannya mereduksi senyawa pewarna menjadi bentuk berwarna, yang mencerminkan fungsi sel imun dalam menghadapi zat asing.

Baca juga:
Ternyata ini, Perbedaan Uji Toksisitas Akut dan Kronis pada Produk Pestisida : Produsen Pestisida Wajib Tahu

Sedangkan metode kedua menilai hambatan migrasi sel leukosit yang diinduksi oleh zat toksik, yang menunjukkan potensi gangguan terhadap sistem imun tubuh. Selain sistem imun, banyak pestisida juga diduga mengganggu sistem reproduksi dan endokrin, sehingga diperlukan uji toksisitas hormonal. Beberapa metode yang digunakan antara lain transactivation assays, yang mengevaluasi interaksi senyawa pestisida dengan reseptor estrogen (ER) dan androgen (AR).

Efek hormonik ini juga dapat diuji melalui aktivitas enzim CYP19 aromatase dalam mikrosom plasenta manusia, serta pengukuran ekspresi mRNA ERα dan ERβ sebagai indikator adanya aktivitas seperti estrogen. Di samping itu, reporter gene assay dan pengujian inhibisi aktivitas aromatase juga menjadi alat skrining efektif untuk mendeteksi senyawa pengganggu hormon (endocrine disruptors). Untuk menilai potensi kerusakan genetik, digunakan uji genotoksisitas atau mutagenisitas.

Contoh metode yang umum adalah sister chromatid exchange (SCE) assay pada limfosit manusia, yang mendeteksi pertukaran materi genetik antar kromatid sebagai tanda kerusakan DNA. Metode ini sensitif dalam mengukur potensi mutagenesitas dan karsinogensitas pada pestisida. Pengujian ini penting untuk mengetahui seberapa berbahayanya pestisida bagi orang yang sering terpapar, seperti petani atau pengguna rumah tangga.

Menariknya, embrio ayam juga bisa digunakan sebagai model uji karena memiliki kemampuan memetabolisme zat kimia seperti dalam tubuh manusia. Dengan menggunakan embrio ayam, peneliti dapat melakukan micronucleus test dan comet assay untuk mengevaluasi apakah suatu pestisida bisa merusak DNA secara langsung. Uji ini membantu memastikan keamanan pestisida sebelum digunakan secara luas.

Beberapa jenis pestisida dapat bersifat hematotoksik, yaitu beracun terhadap sistem darah. Efeknya bisa menyebabkan gangguan serius seperti agranulositosis (penurunan drastis sel darah putih tertentu), neutropenia (kekurangan neutrofil), trombositopenia (penurunan trombosit), dan anemia (kekurangan sel darah merah). Untuk menilai potensi ini, para peneliti melakukan uji hematotoksisitas menggunakan sel punca darah dari manusia dan tikus.

Mereka mengamati colony-forming unit-granulocyte and macrophage (CFU-GM), yaitu sel-sel awal yang nantinya berkembang menjadi sel darah putih. Hasilnya menunjukkan bahwa pestisida yang diketahui beracun terhadap darah dalam tubuh (in vivo) juga mampu menghambat perkembangan sel-sel ini dalam pengujian laboratorium (in vitro). Beberapa insektisida seperti organofosfat dan karbamat dapat merusak sistem saraf (neurotoksik).

Untuk menilai risikonya, dilakukan uji in vitro dengan mengukur kemampuan pestisida menghambat enzim asetilkolinesterase dan neurotoksikesterase pada otak ayam dan manusia. Nilai IC₅₀ yang dihasilkan dapat memprediksi tingkat bahaya pestisida terhadap sistem saraf. Selain itu, kultur sel saraf juga digunakan untuk menilai dampak pestisida terhadap perkembangan sel saraf, seperti pertumbuhan neurit. Uji ini penting untuk mendeteksi potensi gangguan saraf sejak tahap awal, terutama pada masa perkembangan.

Pastikan Pestisida Anda lolos uji di laboratorium tersertifikasi SK Kementan sebelum digunakan secara luas, produk pestisida perlu melewati serangkaian uji toksisitas dengan metode in vitro yang lebih efisien, akurat, dan sesuai prinsip etika. Pastikan pengujian dilakukan di laboratorium yang telah terdaftar dan memiliki Surat Keputusan (SK) dari Kementerian Pertanian, sehingga hasil uji diakui dan sesuai dengan standar regulasi nasional. Langkah ini penting untuk memastikan produk Anda aman bagi manusia, hewan, dan lingkungan.

Author: Dherika
Editor: Sabilla Reza

Referensi:

Andersen, H.R., Vinggaard, A.M., Rasmussen, T.H., Gjermandsen, I.M. and Bonefeld-Jørgensen, E.C. (2002) Effects of Currently Used Pesticides in Assays for Estrogenicity, Androgenicity, and Aromatase Activity In Vitro. Toxicol. Appl. Pharmacol., 179, 1-12.

Grünfeld, H.T. and Bonefeld-Jorgensen, E.C. (2004) Effect of in vitro estrogenic pesticides on human oestrogen receptor α and β mRNA levels. Toxicol. Lett., 151, 467-480.

Jamil, K., Shaik, A.P., Mahboob, M. and Krishna, D. (2004) Effect of organophosphorus and organochlorine pesticides (monochrotophos, chlorpyriphos, dimethoate, and endosulfan) on human lymphocytes in-vitro. Drug Chem. Toxicol., 27, 133-144.

Jang, Y., Kim, J.E., Sang., H.J., & Myung, H.C. (2014) Toward a Strategic Approaches in Alternative Tests for Pesticide Safety. Toxicological Research, 30(60), 159-168. http://dx.doi.org/10.5487/TR.2014.30.3.159.

Kojima, H., Katsura, E., Takeuchi, S., Niiyama, K. and Kobayashi, K. (2004) Screening for estrogen and androgen receptor activities in 200 pesticides by in vitro reporter gene assays using Chinese hamster ovary cells. Environ. Health Perspect., 112, 524-531.

Parent-Massin, D. and Thouvenot, D. (1993) In vitro study of pesticide hematotoxicity in human and rat progenitors. J. Pharmacol. Toxicol. Methods, 30, 203-207.

Pistl, J., Kovalkovi ová, N., Holovská, V., Legáth, J. and Mikula, I. (2003) Determination of the immunotoxic potential of pesticides on functional activity of sheep leukocytes in vitro. Toxicology, 188, 73-81.

Vigfusson, N.V. and Vyse, E.R. (1980) The effect of the pesticides, Dexon, Captan and Roundup, on sister-chromatid exchanges in human lymphocytes in vitro. Mutat. Res., 79, 53-57.

Vinggaard, A.M., Hnida, C., Breinholt, V. and Larsen, J.C. (2000) Screening of selected pesticides for inhibition of CYP19 aromatase activity in vitro. Toxicol. In vitro, 14, 227-234.

Share your love

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Hubungi kami untuk informasi yang Anda perlukan.

Silakan konsultasikan kebutuhan pengujian produk Anda dengan tim ahli kami secara gratis.

Formulir Kontak